Kota yang Hendak Dihapuskan | Cerpen Rumadi


TAK ada yg berani datang ke kota itu. Lagi pula pemerintah sentra sudah hendak menghapus kota itu dr negaranya. Ibarat parasit yg membunuh dr dalam, maka sebelum semua penduduk menanggung alhasil, pemerintah berpendapat seharusnya kota itu dibiarkan saja sendirian.

Pemerintah sentra telah menugaskan pasukan militernya disekeliling kota itu. Pagar-pagar besi yg menjulang tinggi sudah dibangun mengelilinginya, pula di pagar paling luarnya, dipasang sebuah kawat berduri yg memiliki tegangan listrik sungguh tinggi.

Tak seorang pun diizinkan masuk ke kota itu, demikian pula tak seorang pun penduduk kota itu diizinkan untuk keluar dr sana.

Pernah suatu kali seseorang sukses menerabas pagar-pagar pembatas. Ia melangkah dgn langkah yg payah. Berjalan sempoyongan, karena seluruh tubuhnya telah dijangkiti penyakit. Luka borok yg dideritanya sangat menyedihkan. Seluruh tubuhnya bernanah, & beberapa cuilan tubuhnya telah digerogoti belatung.

Pemerintah telah memutuskan batas yg sedemikian rupa, ada garis merah selaku garis peringatan yg tak boleh dilewati oleh masyarakatkota itu, kalau telah berhasil lolos dr jeratan duri. Ia telah diperingatkan dgn pengeras bunyi oleh abdnegara, namun lelaki itu tetap melangkah. Sekonyong suatu peluru mendarat di pelipis sebelah kanan hingga berlubang. Ia tergeletak & langsung dijemput maut. Dan tentu saja kejadian itu tak sekali saja terjadi. Mereka yg berhasil lolos dr duri bertegangan tinggi, harus siap dgn peluru yg bisa membunuh mereka saat itu juga. Tak banyak yg berani mencoba keluar dr kota itu. Mereka menentukan bertahan, & mungkin saja hanya menanti waktu dijemput maut.

Berjarak dr satu meter dr garis pembatas yg telah diputuskan, jikalau kau hendak pergi ke kota itu, kau akan mencium kedaluwarsa busuk yg menjijikkan. Lebih busuk dr luka yg disebabkan oleh infeksi, atau bangkai yg disantap belatung. Perutmu akan merasa mual tak tertahankan. Tak hingga di situ saja, mungkin saja seumur hidupmu akan dibaui bau tersebut, yg membuatmu kehilangan nafsu makan, kehilangan selera bercinta, karena di dlm kepala & bayanganmu selalu tercium busuk busuk yg begitu memuakkan.

  Sepulang dari Penjara | Cerpen Ken Hanggara

Sebuah kisah yg beredar di sana, kota itu telah kehilangan rasa kemanusiaan. Tidak ada yg menanggung kehidupan orang lain. Mereka yg miskin dibiarkan saja hidup dlm kemiskinan yg teramat menyedihkan.

Cerita bermula pada suatu waktu ada seorang pengemis tua yg sekarat merangkak-rangkak di depan suatu bangunan yg sudah usang tak digunakan. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Tubuhnya dipenuhi dgn darah yg membusuk, infeksi, & luka yg teramat menjijikkan.

Setiap kali ada orang yg melalui, ia seperti berusaha berteriak, tetapi sesungguhnya yg keluar dr mulutnya hanyalah suatu gumaman yg lemah. Orang yg sekadar lewat di sana cuma menoleh sebentar sambil menutup hidung tanpa mau berhenti sejenak. Bahkan, mereka berjalan bergegas setiap kali melalui kawasan pengemis renta itu. Mereka mirip dikejar waktu. Maka pengemis renta itu cuma merintih memegangi perutnya yg terasa teramat lapar. Ia berguling & terus bergumam. Ia cuma meminta uluran tangan, tetapi tak ada satu tangan pun yg menyambut.

Hingga pada suatu hari lelaki itu mati. Ia tergeletak begitu saja. Tak ada yg merasa kehilangan, tak ada yg mencari, pula tak ada yg bersedih hati. Maka anjing-anjing liar pun berebut mencacah badan itu. Mereka melahapnya dgn rakus. Lalat merubung, & dgn cepat wabah meruap. Secepat embusan angin. Semula salah seorang masyarakatdiserang rasa gatal luar biasa di sekujur tubuh. Disusul dgn kedatangan bintik-bintik merah. Beberapa orang masbodoh saja dgn insiden itu. Mereka teramat percaya, sabun mandi yg biasa dipakai akan segera menetralisir rasa gatal tersebut.

Beberapa yg memiliki kondisi ekonomi yg lebih baik, secepatnya berkonsultasi dgn dokter kulit terbaik pula. Namun negeri itu mirip dikutuk. Semahal & semanjur apa pun obat yg direkomendasikan dokter, tak ada yg mampu menghentikan rasa gatal itu yg mendera badan. Seluruh penduduk telah terkena penyakit asing tersebut. Maka pemerintah kota yg pula terkena wabah itu segera menelepon pemerintah sentra.

  Pedagang Senja | Cerpen Sungging Raga

Namun ia tercengang dgn tanggapan dr mereka. Tidak ada yg boleh keluar dr sana, tak ada yg boleh masuk ke sana. Jika melanggar, maka hukumannya yaitu kematian. Maka kota itu berhenti. Segalanya mati. Roda perekonomian terputus. Mereka lebih memikirkan bagaimana mengobati rasa gatal di tubuh mereka yg kini sudah menjadi luka borok yg menyedihkan.

Tidak ada pertanyaan, lantaran setiap pertanyaan wacana penyakit itu sudah mempunyai jawaban. Tidak ada yg tahu cara menyembuhkannya, lantaran tak ada satu orang pun yg sembuh.

Mereka terkaget pada suatu pagi buta tatkala terdengar dentum yg begitu keras. Mereka semua terbangun sambil menggaruki badan mereka yg terasa teramat gatal. Beton-beton telah diturunkan mengelilingi penjuru kota. Tidak ada yg berani bergerak mendekat ke arah itu. Mereka cuma mampu menerka-duga, ini mungkin saja pemberian dr pemerintah sentra untuk menangani wabah ini.

Hari demi hari berlalu. Kota tak bisa dikendalikan lagi. Semua orang didera rasa lapar. Uang tak lagi berkhasiat. Mereka saling berebut untuk bisa bertahan hidup. Orang-orang kaya di kota itu setiap malam, sambil menggaruki badan tanpa henti, diliputi kekhawatiran yg lain. Setiap waktu mereka panik, rumah mereka dijarah. Simpanan masakan pokok mereka pula akan dirampok tanpa sisa.

Terdengar letusan yg mengejutkan siapa saja dengan-cara tiba-tiba. Sebuah tubuh ambruk disambar peluru. Peringatan bagi mereka yg ingin keluar dr kota itu, pasukan militer disiagakan. Dan pembangunan pagar dilakukan. Mereka ingin dibunuh di sana dgn cara yg menyakitkan. Dikurung dlm wabah. Mereka pada akhirnya tahu, mereka dikepung ajal.

Seseorang yg mati selalu jadi bahan rebutan. Pangan sudah tak tersedia lagi bagi orang yg kekurangan bahan pokok. Maka mereka mencacahnya & memberikan bumbu seadanya yg tersisa dr swalayan yg telah ditinggal para pegawainya. Mereka membakar badan yg mati itu, & memakannya dgn lahap sambil menggaruki badan mereka.

  Pabrik Skripsi | Cerpen On Thok Samiang

Mereka melalaikan rasa jijik mirip sebelum penyakit ini menyerang. Yang mereka tahu, perut mereka mesti diisi, tak peduli jika daging yg dimakannya adalah daging sesama mereka sendiri. Amis infeksi tak lagi kuat bagi hidung mereka.

Dan setiap hari mereka menunggu dgn ketakutan. Menunggu akhir hayat. Menunggu daging mereka menjadi sajian saudaranya sendiri.

Pagar pembatas sudah dibangun dgn arogan. Batas yg tak berbelas. Sudah tak terhitung orang yg mati karena terkena tembakan karena melanggar batas. Tak sedikit pula orang-orang kaya yg terlihat mati mengenaskan gantung diri di teras rumah mereka. Dan tak ada yg peduli. Sebaliknya, mereka semua berbahagia setiap kali ada yg mati gantung diri. Setidak-tidaknya perut mereka bisa dikenyangkan. (*)