Penglihatan | Cerpen Mashdar Zainal

Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yg gres dicabut dr tanah basah. Mirip aroma rempah yg segar.

Ibu telah menjelaskan puluhan kali. Bahkan mungkin ratusan kali. Dengan napas aroma akar rumput basah yg sama. Bahwa gue terlahir tepat. Tubuh & indraku utuh, tak ada yg cuwil atau rompal. Tidak ada yg panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua tepat. Bahkan sepasang mata ini. Sepasang mata ini. Orang bilang gue buta. Tapi ibu bilang, gue hanya melihat dgn cara berlainan. Melihat dgn cara berlainan. Itu saja.

Anak-anak lain suka bertanya, apakah yg gue lihat hanya gelap? Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka, gelap itu mirip tatkala kamu memejamkan mata. Tatkala kau memejamkan mata, maka kamu takkan mampu menyaksikan. Seperti itulah aku. Seperti itulah orang buta. Mungkin gue tak paham seperti yg mereka paham. Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna hitam. Tatkala gue memejamkan mata, sama rasanya dgn tatkala ibu mematikan lampu dikala gue disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda lampu dimatikan, semua cuma menjadi sedikit berlawanan. Seperti itulah gelap. Gelap cuma sedikit berbeda dgn tak gelap.

Barangkali gelap mereka memang berlainan dgn gelapku. Namun, seperti mereka, gue pun masih bisa mencicipi kehadiran cahaya. Aku masih mampu merasakan sesuatu yg disebut ‘silau’ oleh mereka. Suatu pagi, ibu pernah membawaku ke taman, & menyuruhku mendongak. Sesuatu yg hangat, yg bukan tangan ibu, mulai meraba wajahku. Sesuatu yg megah & seperti hendak memelukku. Aku nyaris terperenyak.

“Itu matahari, Sayang. Cahayanya hangat & agung, raja di siang hari,” ucap ibu. Aku tahu, ibu pula mendongak. Aroma akar rumput lembap itu menyebar ke langit. Beberapa titik jatuh ke wajahku.

Pada malam yg dialiri angin yg lembut mirip satin, ibu pula membawaku ke halaman rumah. Ia pula menyuruhku mendongak. Tak ada usapan hangat. Tapi gue mencicipi sesuatu yg lembut mengaliri wajahku. Megah sekaligus ramah.

“Itu rembulan, Sayang. Cahayanya anggun & redup, ratu di malam hari,” telisik ibu. Angin satin itu menjinjing aroma akar rumput lembap milik ibu ke mana-mana.

Sejak ibu mengenalkanku pada matahari & rembulan—saya lupa kapan, tetapi itu sudah lama sekali, gue sudah bisa membedakan gelap & terang dgn sangat gamblang. Gelap adalah tatkala kamu sendiri. Dan terang adalah tatkala sesuatu yg megah membersamaimu. Dan hal itu: cahaya, membuatku lebih gampang mengayunkan langkah.

Aku berjalan dgn meraba cahaya, menyingkap bunyi, & membaui aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama sekali. Tak ada kesusahan sama sekali. Aku tetap bisa melihat, hanya dgn cara berbeda, seperti kata ibu. Aku melihat ibu dgn meraba parasnya & menyelisik suaranya. Hingga mampu kubayangkan wajah ibu dlm benakku. Begitu terang. Begitu terperinci. Suara ibu renyah. Renyah itu seperti tatkala kamu makan kerupuk yg gres diambil dr dlm toples. Renyah itu tegas tetapi lembut. Mirip bunyi ‘krap’. Seperti itulah suara ibu.

  Abang Tentara | Cerpen Farizal Sikumbang

Ibu ialah satu-satunya kawan dekatku yg paling erat. Setelah ibu, gres ada Lukas & Elias yg sudi berkawan denganku. Yang lain pula berkawan, namun tak terlalu bersahabat. Dekat artinya, mereka sering menyediakan waktu bersamaku & suka mengajakku bercakap-mahir. Ibu, Lukas, & Elias, suka melaksanakan itu. Sebab itu, gue berjanji pada diriku sendiri, bahwa Lukas & Elias akan tetap jadi kawanku hingga kapanpun. Tapi Lukas & Elias punya kebiasaan jelek, mereka suka datang mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah memarahi mereka. Tapi mereka tetap saja suka datang mengendap-endap.

Ketika ibu tengah sibuk dgn pekerjaan di dlm rumah. Biasanya Lukas & Elias timbul & mengajakku bermain di halaman rumah. Di sana ada dua ayunan. Aku duduk di ayunan yg satu, sedangkan Lukas & Elias duduk di ayunan yg lain. Mereka bilang di halaman rumahku banyak bunga. Ibuku memang suka sekali dgn bunga. Ada mawar. Melati yg merambat ke tiang teras. Ada pula kamboja & bougenvil dlm pot. Lukas & Elias menjelaskan bahwa kembang-kembang itu bermacam-macam warnanya. Ada banyak warnanya.

“Mawar itu merah, melati itu putih, kamboja merah muda, bougenvil putih & merah muda, tetapi merah mudanya berlainan dgn merah muda kamboja,” ujar Lukas.

“Kalau daunnya, nyaris semua berwarna hijau,” Elias turut menjelaskan.

Aku cuma berterima kasih & lalu tersenyum, melebarkan sudut bibir ke kiri & ke kanan. Kata ibu, begitulah cara orang tersenyum. Aku bisa membayangkan dgn gampang seperti apa bentuk mawar, melati, kamboja, & bougenvil, meski gue tak begitu paham dgn warna-warna mereka.

Ibu, Lukas, & Elias memperhatikan warna dgn mata kasat mereka. Sedangkan gue mengamati warna dgn caraku sendiri. Merah seperti aroma garam & karat. Seperti aroma darah. Kata ibu darah berwarna merah. Meski gue tahu, mawar punya aroma yg khas—orang-orang menyebutnya harum, namun bagiku warna mawar seperti garam & karat. Dan mawar berduri, jariku pernah tertusuk duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yg beraroma seperti garam & karat. Garam & karat.

Adapun warna melati mirip rasa pahit & sepat. Warna kamboja mirip serbuk minuman yg dituang ke dlm gelas. Warna bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti puding cincau yg mendidih dlm panci. Sekali lagi, gue mengatakan perihal warna, bukan aroma. Bagiku warna adalah bentuk. Merah ialah bentuk. Putih yakni bentuk. Merah muda & hijau pula sebuah bentuk. Barangkali itulah yg disebut ibu sebagai ‘menyaksikan dgn cara berbeda’. Melihat dgn cara berlawanan.

Suatu malam, di usiaku yg keduabelas, kami duduk mengitari meja makan. Aku & ibu duduk bersebelahan. Ayah duduk di seberang. Aku tak terlalu bersahabat dgn ayah. Tapi gue mampu membayangkan wajah ayah dr suaranya yg keras seperti dahan patah, pula aroma napasnya yg dingin seperti udara yg menyambar tatkala kulkas dibuka. Aku pernah meraba wajah ayah, nyaris sama dgn wajah ibu & wajahku. Hanya saja wajah ayah bernafsu di beberapa potongan. Menurut ibu, itu sisa kumis & jenggot yg dipangkas. Itu yakni salah satu tanda bahwa pria & perempuan berlawanan. Laki-laki & perempuan berlainan.

  Menunggu Jumat Pagi | Cerpen Khumaid Akhyat Sulkhan

Ayah bekerja sebagai pejabat negara. Kata ibu, ayah orang penting. Ayah erat dgn presiden. Dan karena itu, ayah jarang sekali tinggal di rumah. Ayah sering pergi ke ibu kota. Dan bahkan ke luar negeri. Aku & ibu sudah sudah biasa ditinggalkan ayah. Sebenarnya, di rumah kami ada dua orang pramusaji , yg satu namanya No, ia bekerja merawat taman. Dan yg satu namanya Tik, ia pecahan mengurusi pekerjaan rumah. Tapi menjelang petang mereka selalu pulang. Dan gue tak begitu suka dgn mereka. Mereka jarang berkata-kata, & acap kali, aroma mereka yg satu seperti tanah becek & yg satu mirip kain terbakar. Tapi bagaimanapun, mereka sudah berbaik hati sudi membantu ibu sampai petang. Kaprikornus gue tetap menghormati mereka.

Kami masih mengitari meja makan, tatkala ayah memberikan, bahwa sebentar lagi, gue akan bisa melihat. Melihat dgn cara yg sama, persis mirip ayah & ibu melihat. Seperti Lukas & Elias menyaksikan. Kata ayah, itu hadiah ulang tahunku yg keduabelas. Hadiah yg takkan pernah kulupakan. Ayah berbicara soal donor mata. Yang kutahu, donor itu semacam perlindungan. Berarti sumbangan mata. Dan ibu menyinggung soal operasi. Yang kutahu, operasi itu pekerjaan yg bekerjasama dgn pisau, dokter bedah, & kesembuhan seseorang.

Sepertinya obrolan ayah & ibu akan berjalan lama. Sebab itu, sehabis makan, ibu mengantarku basuh tampang, basuh kaki, sikat gigi, & kemudian tidur. Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu ditutup dr luar. Seketika, dlm benakku muncul bentuk-bentuk yg beterbangan. Warna-warna, aroma-aroma, & cahaya yg berlompatan. Tatkala itu, tiba-tiba Lukas & Elias tiba. Seperti biasa, mereka datang membisu-membisu. Barangkali mereka memanjat jendela. Kata Lukas, mereka sempat menguping soal hadiah ulang tahun itu. Soal gue akan bisa melihat dgn cara yg sama. Melihat dgn cara yg sama.

“Akan lebih baik bila kamu tak menerima hadiah itu,” desis Lukas.

“Betul,” sahut Elias, “nyaris semua penglihatan insan yakni anak panah iblis yg dilesatkan. Dan itu akan menikam dirimu sendiri. Sudah banyak buktinya.”

“Lagi pula, sebagian besar manusia mempunyai wajah & sosok yg menyeramkan & kadang menjijikkan untuk dilihat. Kau niscaya akan ketakutan.”

“Dan seringkali mereka mendesis seperti ular derik. Berisik & mencelakai orang.”

  Labirin | Cerpen Khoirul Prasetyo Utomo

“Akan aneka macam hal di dunia ini yg tak ingin kau lihat nantinya. Percayalah, kamu takkan suka menyaksikan dgn cara yg sama.”

Aku cuma menyimak ucapan mereka. Dengan rasa ngeri yg mulai melata.

“Tapi semua terserah padamu,” singkat Lukas.

“Ya, keputusan tetap ada di tanganmu,” Elias menyertakan.

Malam itu, Lukas & Elias pamit sesudah kukatakan bahwa gue harus secepatnya tidur. Sejujurnya, gue mulai bosan & menilai mereka hanya menakut-nakutiku. Setelah gue bisa melihat mirip yg lain, tentu akan kian banyak anak yg mau berkawan denganku. Pasti Lukas & Elias khawatir akan hal itu. Padahal gue sudah bersumpah, sampai kapanpun, mereka akan tetap jadi mitra dekatku. Sampai kapanpun.

Setelah malam itu, Lukas & Elias masih tiba sesekali untuk mengingatkan soal pandangan manusia yg kata mereka mengerikan itu. Sampai ayah & ibu betul-betul membawaku ke tempat tinggal sakit untuk kado istimewa itu. Tatkala gue hingga di rumah sakit, cahaya berlesatan di hadapanku. Aroma-aroma membaur menjadi satu. Warna-warna beradu. Juga bunyi Lukas & Elias yg terus mengiang sayup di telingaku. Hingga gue seperti tertidur. Tidak ingat apa-apa lagi.

Entah berapa lama, tatkala gue terbangun, sebagian kepalaku sudah dibaluti kain panjang & pipih. Setelah beberapa hari, tatkala kain itu dibuka, perlahan. Mataku secepatnya mengerjap. Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain raksasa yg meringkusku. Dan semua menjadi begitu berlawanan. Ibu bertanya, apakah gue mampu menyaksikan? Apakah gue merasa silau? Aku cuma tersenyum lebar. Ibu menciumku. Wajah ibu persis mirip yg kubayangkan selama ini. Persis. Namun aroma akar rumput berair itu lenyap entah kemana.

Dan gue merasa sangat girang mampu melihat terlalu banyak hewan berkeliaran. Berbaur dgn manusia. Aku tahu itu hewan karena mereka memiliki moncong. Semacam bibir yg menjorok ke depan. Ibu pernah bercerita, bahwa salah satu perpedaan fisik antara insan & hewan ialah pada moncongnya. Bahkan bebek & ikan lele sekalipun mempunyai moncong. Sungguh, gue merasa takjub dgn dunia baruku.

Aku tak sabar untuk mengucapkan terima kasih pada ayah yg telah menghadiahiku suatu pandangan. Sebuah dunia baru. Aku & ibu sudah menanti ayah di depan pintu sesudah beberapa hari ayah pergi ke luar kota seperti umumnya. Tatkala ayah keluar dr kendaraan beroda empat, gue baru tahu bahwa ayah pula memiliki moncong. Ayah pula memiliki moncong. Tiba-tiba gue teringat kata Lukas & Elias. Namun entah mengapa, semenjak gue mempunyai penglihatan yg sama, Lukas & Elias tak pernah timbul lagi. Mereka menghilang.

Ketika gue bertanya pada ibu perihal Lukas & Elias, ibu menjawab enteng. Kata ibu, Lukas & Elias cuma sepasang anjing kembar milik tetangga sebelah. Anjing kembar yg suka keluyuran ke halaman rumah kami. (*)