Membaca Hati yang Kotor

Ketika melihat sepeda motor yg kotor akibat cipratan lumpur di jalan, kita akan bereaksi dgn segera membersihkannya. Tatkala melihat piring kotor yg menumpuk, refleks seorang ibu rumah tangga akan segera membersihkannya dgn sabun & air. Karena pada fitrahnya, manusia tak betah dgn menyaksikan yg kotor-kotor.

Lalu bagaimana jika menyaksikan hati yg kotor? Tentu sangat tak nyaman & tak menggembirakan. Apalagi bila pemilik hati itu ialah….kita.

“Kita sering sekuat tenaga menjaga biar pakaian, kendaraan tak kotor. Tapi jarang habis-habisan menjaga agar hati tak kotor,” begitu pesan tersirat indah ustad kita KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym.

Tak ubahnya seperti baju putih yg bersih, saat tertimpa noda bernama dosa munculah sebuah titik hitam pada baju itu. Baju itu seolah bicara sendiri, tak berkata-kata. Kebersihan hati bisa diukur dr apa yg keluar dr pengecap. Meminjam kembali perumpamaan Aa Gym, teko cuma akan mengeluarkan isinya. Jika isinya kopi maka akan keluar kopi, kalau isinya susu maka keluarnya pun akan susu. Nalar kita pun bisa bicara demikian. Jika isinya kopi sangat mustahil keluarnya adalah jus alpukat. Jika isinya teh, sungguh tidak mungkin keluarnya ialah nasi kotak.

Teko hati yg kotor, akan mengeluarkan kotoran. Tak ubahnya kawasan penampungan kotoran (septic tank). Yang keluar yaitu kata-kata sarat kebusukan & kejelekan. Bahkan orang alim & akrab Allah saja dgn begitu gampang dikecam & diancam. Lidahnya menjadi pembuka pintu malapetaka.

“Ingin tahu isi hati orang lain? Dengarkan apa yg sering ia ucapkan. Bila yg sering diucapkan kejelekan, hatinya kotor,” begitu kata motivator Jamil Azzaini, lewat kicauannya pagi ini.

  Penyakit Ganas Pembunuh Aktivis Dakwah

Kakek, begitu kita menyapa, menganggap hati yg kotor tak akan pernah merasa bersalah apalagi mengakui kesalahan, ia akan mencari alasan lain.

“Sekali-kali salah ngomong atau ngomong kotor itu manusiawi. Tapi bila berulang-ulang itu tanda punya penyakit hati,” tuturnya, lembut & sejuk.

Mereka, tepatnya kita, yg hatinya dipenuhi aneka macam kotoran & penyakit, hidup seakan dirongrong aneka macam masalah, panik yg berlebihan & kesulitan yg tak pernah habis. Hidup seakan dimarjinalkan oleh banyak orang, seakan orang-orang ingin merenggut dunia kita.

“Sungguh beruntunglah orang yg menyucikan jiwanya & sungguh merugi orang yg mengotorinya.” (QS AsySyams)

Sebagai seorang muslim, kita punya mekanisme membersihkan hati dgn memperbanyak mohon ampun pada Allah dgn istighfar, membaca Al-Qurán & mengerjakan shalat tepat waktu. Dengan begitu bintik hitam pun akan secara perlahan-lahan hilang. Kita mampu memakai baju putih kembali tanpa harus berteriak “saya pakai baju putih”. Kita mampu mengisi teko dgn susu alasannya adalah kita yg memilih susu itu. Kita menuangkan, & orang lain mencicipi. [Paramuda/Wargamasyarakat]