Kafalah Dalam Fiqih Muamalah

A. Pengertian kafalah

Kafalah berdasarkan bahasa bermakna al-dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’mah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah, para ulama mengemukakan definisi yang berlainan-beda antara lain adalah:“memadukan suatu dzimah (tanggung jawab) kepada dzimah yang lain dalam penaguhan dengan jiwa, utang, atau zat benda”.

Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi yaitu memasukkann tanggung jawab seseorang  ke dalam tanggung jawab orang lain dalam sebuah tuntutan biasa . Dengan kata lain menyebabkan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berhutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan berdasarkan mazhab Maliki, Syafi’i dan hambali, kafalah yaitu menyebabkan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, alasannya adalah sungguh dibutuhkan dalam mu’amalah dan biar yang berpiutang tidak dirugikan kerna ketidakmampuan yang berutang.

B. Dasar hukum

Al-Qur’an

QS, Yusuf/12: 66.

قَالَ لَنْ اُرْسِلَهٗ مَعَكُمْ حَتّٰى تُؤْتُوْنِ مَوْثِقًا مِّنَ اللّٰهِ لَتَأْتُنَّنِيْ بِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يُّحَاطَ بِكُمْۚ فَلَمَّآ اٰتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللّٰهُ عَلٰى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ

Terjemah :

Dia (Yakub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu, sebelum kau bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu niscaya akan membawanya kepadaku kembali, kecuali bila kau dikepung (musuh).” Setelah mereka mengucapkan sumpah, beliau (Yakub) berkata, “Allah yaitu saksi kepada apa yang kita ucapkan.”

QS, Yusuf/12: 72.

قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاۤءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَا۠ بِهٖ زَعِيْمٌ

  Wakalah Dalam Fiqih Muamalah

Terjemah :

Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang mampu mengembalikannya akan mendapatkan (materi makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.”

Hadis

HR. Abu daud

Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar

HR. Abu daud, at-Tirmidzi dishahihkan Ibnu Hubban

Bahwa penjamin ialah orang yang berkewajiban mengeluarkan uang

Ijtihad

Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, sebab sangat diharapkan dalam mu’amalah dan agar yang berpiutangtidak dirugikan kerena ketidakmampuan yang berutang.

C. Ketentuan

Secara lazim kafalah dibagi menjadi dua bagian, ialah, a) kafalah dengan jiwa; dan b) kafalah dengan harta.

1. Kafalah dengan jiwa

Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yakni adanya kesediaan pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang dia tanggung kepada yang yang beliau janjikan tanggungan (makful ‘alaih).

Penjaminan yang menyangkut persoalan manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak harus mengetahui permasalahan, karena kafalah menyangkut tubuh bukan harta. Penanggungan ihwal hak Allah, mirip had al-khamar dan had nuduh zinah ialah tidak sah, sebab nabi Muhammad saw. bersabda: tidak ada kafalah dam had (riwayat al-Baihaqi). Alasan lainnya yaitu alasannya menggugurkan dan menolak had yaitu kasus syubhat, oleh sebab itu tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang dan tidaklah mungkin had dapat dikerjakan kecuali oleh orang yang bersangkutan.

Mazhab Syafi’i beropini, bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena keharusan menyangkut hak insan, seperti Qishas dan Qazaf, alasannya kedua hal tersebut menurut Syafi’i termasuk hak yang pasti. Sedangkan, jikalau menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.

Ibnu Hazm menolak pertimbangan tersebut, menjamin dengan mendatangkan tubuh pada dasarnya dihentikan, baik menyangkut dilema harta maupun menyangkut dilema had, sebab syarat apa pun yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an yakni batil.

  Wakalah Dalam Fiqih Muamalah

Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa, sebab Nabi Muhammad SAW pernah menjamin permasalahan tuduhan, tetapi menurut Ibnu Hazm bahwa Hadits yang menceritakan ihwal penjamin Nabi Muhammad SAW pada dilema tuduhan yakni batil, alasannya Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, ia yakni dha’if dan tidak boleh diambil periwayatnya.

Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila beliau tidak mampu menghadirkannya, sedangkan penjamin itu masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, berdasarkan Mazhab Maliki penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya, dalam hal ini Rasulullah SAW, bersabda; ”Penjamin ialah berkewajiban membayar” (Riwayat Abu Dawud).

Sementara itu Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa penjamin (kafil atau dhamin) mesti ditahan sampai beliau dapat menghadirkan orang tersebut atau sampai penjamin mengenali, bahwa orang yang dijamin (ashil) sudah meninggal dunia. Dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali bila saat menjamin mengisyaratkan demikian (akan membayarnya).

Menurut Mazhab Syafi’i, kalau orang yang dijamin telah meninggal dunia, maka kafil tidak membayar kewajibannya, alasannya adalah ia tidak menjamin harta, namun menjamin penduduknya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab.

2. Kafalah dengan harta

Kafalah harta merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran atau (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam yaitu;

  • Kafalah bi al-dayn, yakni keharusan mengeluarkan uang utang yang menjadi beban orang lain. Dalam Hadits Salamah bin Akwa disebutkan, bahwa Nabi SAW tak maumenshalatkan jenazah yang mempunyai keharusan membayar utang, kemudian Qathadah ra., berkata; ”Shalatkanlah dia dan aku akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya”. Dalam kafalah utang disyaratkan selaku berikut: a) Utang tersebut bersifat mengikat/tetap (mustaqir) pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qiradh, upah, dan mahar. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat, bahwa seseorang boleh menjamin suatu utang yang belum mengikat. b) Hendaklah barang yang dijamin dimengerti. Menurut Mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm, seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak dimengerti, alasannya adalah tindakan tersebut ialah gharar, sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak dikenali.
  • Kafalah dengan penyerahan benda, adalah kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti menyerahkan barang jualan kepada pembeli. Dalam hal ini disyaratkan materi yang dijamin tersebut yaitu untuk ashil. Namun jikalau bukan berupa jaminan, maka kafalah batal.
  • Kafalah dengan ’malu, tujuannya ialah jaminan jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, alasannya waktu yang terlalu lama atau alasannya adalah hal-hal yang lain, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan terhadap penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengubah barang yang cacat tersebut).
  Wakalah Dalam Fiqih Muamalah