Pacaran Dan Peminangan Dalam Perkawinan

1. Etika Pacaran

Akhir-simpulan ini, proses khithbah (peminangan) umumnya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan selaku sahabat lawan jenis yang tetap dan mempunyai kekerabatan batin, lazimnya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, ungkapan pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu.[1] Muda-mudi yang pacaran, jikalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan selaku proses mengenal langsung masing-masing, yang dalam aliran Islam disebut dengan ”Ta’aruf” (saling kenal-mengenal).

Akibat perubahan sosial, sampaumur ini, kebiasaan pacaran penduduk kita menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akhirnya mampu melebihi batas kepatutan. Kadangkala, seorang dewasa menilai perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan selaku pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya sampaumur yang gonta-ganti pacar, ataupun era pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akhir pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menyebabkan hamil pranikah, pengguguran, bahkan akibat rasa aib di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[2]

Islam sebenarnya sudah memperlihatkan batas-batas-batasan dalam pergaulan antara pria dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra ayat 32: ‘

ولا تقربوا الزنا انه كان فاحشة وساء سبيلا

Terjemahnya:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu yakni sebuah perbuatan yang keji. dan sebuah jalan yang buruk. (QS Al-Isra/17: 32)[3]

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. sudah menawarkan petunjuk, bahwa Allah membuat insan terdiri dari pria dan wanita dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa yakni supaya mereka mampu berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

 يا ايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير

 Terjemahnya:

Hai manusia, bahwasanya kami membuat kau dari seorang Zakilaki dan seorang wanita dan menjadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku biar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di segi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Mengenal. (QS Al-Hujurat/49: 13)[4]

Dengan demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan menyelenggarakan perkenalan antara laki-laki dan perempuan (pacaran), di mana tahapan lazimnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah berjumpa dan kepincut satu sama lain, disarankan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan tetap mempertahankan martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, jika di antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal keadaan keluarga masing-masing, contohnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang bau tanah keduanya.

Nabi saw., memperlihatkan tips bagi seseorang yang akan memilih pasangannya, ialah mendahulukan pertimbangan keberagamaan dibandingkan dengan motif kekayaan, keturunan maupun keelokan atau ketampaman.[5]

Kedua, proses khithbah, yakni melamar atau meminang.

2. Pengertian Peminangan (Khithbah)

Kata ”peminangan berasal dari kata ”pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya yakni melamar, yang dalam bahasa Arab disebut ”khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain)[6] meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan ialah acara atau upaya ke arah terjadinya relasi perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan.[7] Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang wanita untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang biasa berlaku di tengah-tengah penduduk .[8]

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan yang disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan semoga waktu memasuki perkawinah didasari kerelaan yang didapatkan dari penelitian, wawasan, serta kesadaran masing-masing pihak:

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah wanita yang memehuhi syarat sebagai berikut:[9]

  • Tidak dalam pinangan orang lain;
  • Pada waktu dipinang, wanita tidak ada penghalang syara’ yang melarang dilangsungkannya pernikahan;
  • Perempuan itu tidak dalam masa idah sebab talak raj’i; dan
  • Apabila perempuan dalam kala idah alasannya talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).

3. Melihat Pinangan

Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan dan kesenangannya, seyogianya laki-laki melihat dahulu perempuan yang mau dipinangnya sehingga dia mampu menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang mau dipinang itu diperbolehkan selama dalam batasan tertentu, berdasarkan sabda Nabi Saw.:

عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امراة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ا نظرت اليها ؟ قال: لا، قال: انظر  اليها فانه ان يؤدم بينكما )رواه النسائي و ابن ماجه والترمذي(

Artinya:

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang wanita, lalu Rasulullah saw. bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat ia? Ia menjawab: Belum. Sabda Nabi: Lihatlah beliau lebih dulu agar nantinya kamu mampu hidup bareng lebih langgeng. (HR. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Mengenai bab badan perempuan yang boleh dilihat saat dipinang, para fuqaha berbeda pertimbangan . Imam Malik cuma membolehkan pada bagian paras dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud al-Dhahiry). Membolehkan melihat seluruh tubuh, kecuali dua kemaluan sementara fuqaha lainnya lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan menyaksikan dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan.

  Mahar Dalam Perkawinan

Silang pendapat ini disebabkan alasannya dalam problem ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada paras dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:

ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها

Terjemahnya:

Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya (QS Al-Nur/24: 31).[10]

Maksud ”tambahan yang biasa tampak daripadanya” ialah paras dan dua telapak tangan. Di samping itu, juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka wajah dan telapak tangan pada waktu berhaji, oleh pada umumnya fuqaha. Adapun fuqaha yang melarang menyaksikan sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok, yakni menyaksikan seorang perempuan.[11]

Berdasarkan salah satu riwayat dari Abu Razaq dan Said bin Manshur, Umar pernah meminang putri Ali yang bernama Ummu Kulsum. Ketika itu, Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil. Kemudian, Ali berkata lagi: ”Nanti akan aku suruh tiba Ummu Kulsum itu kepadamu, bilamana engkau suka, engkau mampu membuatnya selaku kandidat istri.” Setelah Ummu Kulsum datang kepada Umar, lalu Umar membuka pahanya, bersama-sama Ummu Kulsum berkata: “Seandainya Tuan bukan seorang khalifah, tentu telah aku colok kedua mata tuan.[12]

Bilamana seorang pria melihat bahwa pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah ia diam dan jangan menyampaikan sesuatu yang menyakitkan hatinya, karena boleh jadi wanita yang tidak disenanginya itu akan diminati orang lain.

4. Meminang Pinangan Orang Lain

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab memiliki arti membatasi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah relasi kekeluargaan dan mengusik ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi Saw.:

المؤمن اخو المؤمن فلا يحل له ان يبتاع على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه حتى يدري رواه احمد ومسلم

Artinya:

Orang mukmin dengah mukmin adalah bersaudara, maka dihentikan beliau berbelanja barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya sampai ia meninggalkannya. ” (HR Ahmad dan Muslim) .[13]

Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:

لا يبيع الرجل على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه ولا تسأل المراة طلاق أختها  لتكتفي ما في انائها او ما في صحفتها )رواه مسلم(

Artinya:

Seorang laki-laki tidak boleh menawar barang yang sudah ditawar oleh saudaranya, dan tidak juga ia boleh melamar atas lamaran saudaranya. Dan seorang perempuan dilarang meminta perceraian kerabat perempuannya agar beliau mampu mendapatkan bab yang ada di bejananya atau apa yang terdapat dalam piringnya sendiri” (HR Muslim).[14]

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana wanita itu sudah mendapatkan pinangan pertama dan walinya telah dengan terperinci-terangan mengizinkanya, kalau izin itu memang diharapkan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau alasannya pria yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengijinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.[15]

Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang makna hadis tersebut selaku berikut: “Bilamana perempuan yang boleh dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada seorang pun meminangnya lagi, namun kalau belum dimengerti rida dan senangnya, maka tidaklah berdosa meminangnya.”

Jika pinangan pria pertama telah diterima, tetapi wanita tersebut menerima pinangan pria kedua lalu menikah dengannya, maka hukumnya berdosa, tetapi pernikahannya tetap sah, alasannya adalah yang dihentikan adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sah nikah. Karena itu, pernikahannya dilarang dibatalkan meskipun peminangnya itu ialah langkah-langkah pelanggaran. Imam Abu Daud berkata, ”Pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik setelah maupun sebelum persetubuhan.”[16]

Ibnu Qasim beropini bahwa yang dimaksud larangan tersebut yaitu kalau seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan bila peminang pertama tidak baik, sedangkan peminang kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu diperbolehkan.[17]

Adapun tentang waktu pelaksanaan ijab kabul, para fuqaha beropini waktunya yaitu ketika masing-masing pihak (peminang yang dipinang) sudah suka antara satu dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal peminangan.[18] Pendapat ini didasarkan atas hadis Fatimah binti Qais r.a.:

جاءت فاطمة الى النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له ان ابا جهم ابن حذيفة و معاوية ابن سفيان خطباها، فقل: اما ابو جهم فرجل لا يرفع وعصاه عن النساء، و اما معاوية فصعلوك لا مال له ولكن انكحي اسامة

Artinya:

Fatimah tiba terhadap Nabi saw., lalu dia menceritakan kepada dia bahwa Abu jahm bin Hudzaifah dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan telah meminangnya. Maka Nabi Saw. bersabda: Abu jahm ialah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya terhadap seorang perempuan (suka memukul). Adapun Muawiyah yakni orang miskin, tetapi nikahlah kau dengan Usamah.

5. Meminang Perempuan yang Sedang Dalam Masa Idah

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa idah, baik karena maut suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram.

  Mahar Dalam Perkawinan

Jika wanita yang sedang idah alasannya talak raj’i, ia haram dipinang, alasannya adalah masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujuknya kembali di saat-waktu beliau suka. Jika perempuan yang sedang idah alasannya talak ba’in maka beliau haram dipinang secara terang-terangan alasannya adalah mantan suaminya masih tetap mempunyai hak kepada dirinya juga masih memiliki hak untuk menikahinya dengan janji gres. Jika ada pria lain meminangnya di kurun idahnya bermakna dia melanggar hak mantan suaminya.

Dalam hal boleh atau tidaknya meminang wanita yang sedang idah secara sindiran, golongan hebat flkih berbeda usulan. Pendapat yang benar menyatakan boleh. Perempuan yang sedang idah alasannya adalah maut suaminya boleh dipinang secara sindiran selama kurun idah, karena hubungan suami istri di sini sudah terputus sehingga hak suami kepada istrinya hilang sama sekali. Meskipun demikian, pinangan yang diajukan terhadap wanita tersebut hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai mencemarkan namanya di mata tetangga atau kerabatnya. Allah Swt. berfirman:

ولا جناح عليكم في ما عرضتم به من خطبة النساء او اكننتم في انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن ولكن لا تواعدوهن سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب اجله واعلموا ان الله يعلم مافى  انفسكم فاحذروه

Terjemahnya:

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan, sindiran atau kau menyembunyikan (harapan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengenali bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kau menyelenggarakan akad kawin dengan mereka secara belakang layar, kecuali sekadar mengucapkan (terhadap mereka) perkataan yang ma’ruf, dan janganlah kau berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ’idahnya. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maha takutlah kepada-Nya, ……… (QS Al-Baqarah/2: 235)[19]

Maksud wanita-wanita di sini yakni wanita yang sedang dalam kala idah alasannya adalah ajal suaminya, alasannya yang dibicarakan dalam ayat di atas ialah soal akhir hayat. Sedangkan maksud dari kata sindiran yaitu seseorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya berlawanan dengan yang tersiratnya. Mislanya: Saya ingin menikah, atau saya mengharapkan sekali supaya Allah mempermudah jalan bagiku untuk memperoleh istri yang salehah. Termasuk dalam klasifikasi meminang dengan sindiran yaitu memperlihatkan kado kepada perempuan yang sedang dalam abad idah, atau laki-laki itu menguji dirinya dengan menyebutnya jasa baiknya selaku cara meminang dengan sindiran. Hal ini pernah dijalankan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein.[20]

Sukainah binti Hanzhalah menceritakan, ”Ali bin Muhammad bin Ali pernah meminangku ketika kurun idahku belum tamat (alasannya suamiku meninggal), Ia berkata Engkau pasti tahu bahwa saya yakni kerabatnya Rasulullah saw. dan kerabatnya Ali, serta betapa mulianya kedudukanku di golongan bangsa Arab. Lalu Aku menjawab: ”Mudah-mudahan Allah mau mengampuni kamu, wahai Abu Ja’far! Engkau yakni seorang yang menjadi teladan, tetapi engkau meminangku di abad idahku begini?” Ia menjawab: ”Saya hanya sekadar membaritahukan kepadamu wacana hubungan kerabatku dengan Rasulullah dap Ali.”

Rasulullah sendiri pernah masuk ke tempat tinggal Ummu Salamah saat periode idah sebab ajal Abu Salamah. Beliau bersabda kepadanya:

و لقد علمت اني رسول الله و خيرته و موضعي في قومي رواه الدارقطني

Artinya:

Tentu engkau sudah tahu bahwa aku ini seorang Rasul dan terbaik, serta betapa mulianya kedudukan di golongan bangsaku. (HR Daruquthni)

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aturan meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain dikala kurun idahnya yaitu haram. Kalau meminang dengan sindiran terhadap perempuan yang sedang idah sebab talak ba’in atau talak mati itu boleh, maka pinangan kepada wanita yang sedang idah sebab talalz raj’i hukumnya adalah haram.

Bagaimana hukumnya meminang secara terperinci-terangan terhadap wanita yang sedang idah, namun pelaksanaan komitmen nikahnya sehabis idahnya habis? Dalam hal ini, para ulama fikih berlawanan pertimbangan .

Menurut Imam Malik, akad nikahnya sah, namun meminangnya secara terang-terangan itu haram, karena antara meminang dan ijab kabul itu berlawanan. Tetapi, bilamana kesepakatan nikahnya terjadi pada era idah, maka para ulama sepakat mesti dibatalkan, sekalipun antara mereka berdua telah terjadi persetubuhan. Apakah nantinya boleh dinikahkan lagi atau tidak sesudah era idahnya habis? Imam Malik, Al-Laits, dan Al-Auza’i berkata: Tidak boleh menikah lagi sesudah kala idahnya habis. Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka boleh menikah lagi kapan saja mereka suka, asalkan era idahnya telah habis.[21]

6. Berkhalwat (Menyendiri) dengan Tunangan

Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena ia bukan muhrimnya. Ajaran Islam tidak memperkenankan melaksanakan sesuatu kepada pinangannya kecuali melihat. Hal ini alasannya menyendiri dengan pinangan akan menjadikan tindakan yang tidak boleh agama. Akan namun, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk menghalangi terjadinya tindakan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw. bersabda:

عن ابن عباس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا يخلون رجل بإمراة إلا مع ذي محرم )رواه البخاري(

 Artinya:

Dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw., dia bersabda: “janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya” (HR Bukhari).[22]

Dalam hadis yang lain, yaitu riwayat Muslim, Rasulullah Saw. menyatakan sebagai berikut.

عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يبيتن رجل عند امراة الا ان يكون نا كحا او ذا حرام )رواه مسلم(

  Mahar Dalam Perkawinan

Artinya:

Dari jabir r.a., ia ‘berkata, bahwa Rasululah saw., bersabda: “Tidak boleh menginap seseorang bersama dengan seorang wanita, kecuali dengan laki-laki yang menikahinya atau dengan mahramnya” (H.R. Muslim).

Syarah Hadis

Kalimat “Laa Yakhluwanna”= Tidak boleh berkhalwat (berduaan di kawasan sunyi), memperlihatkan wacana haramnya berkhalwat tersebut, baik di waktu malam maupun di waktu siang. Seseorang boleh berkhalwat dengan seorang perempuan asalkan ditemani dengan mahram wanita tersebut. Hal ini dikerjakan untuk menjaga kekalutan terjadinya zina yang senantiasa diperlukan oleh setan.[23]

Dalam hadis lainnya diterangkan “karena orang ketiga dari keduanya yaitu setan” dengan redaksi ”Fainna tsalitsahuma asy-syaithan. ”

Adapun hadis yang kedua dari Jabir menyampaikan bahwa dilarang bermalam seorang pria dengan seorang wanita kecuali dengan suaminya. Kata “Yabitanna” artinya bermalam.

Dalam riwayat Muslim yang lain, berbunyi: La yabi‘tanna rajulun ’inda imra’atin tsayyibin” ini memiliki arti bahwa yang dihentikan itu bermalam dalam rumah seorang perempuan janda. Diberinya pemanis dengan wanita janda ini, alasannya adalah umumnya seorang laki-laki akan lebih gampang menemui wanita janda tidak sesukar menemui seorang gadis. Larangan menemui seorang janda di waktu malam ini mengandung adanya makna lebih tidak boleh lagi untuk menemui gadis di waktu malam.[24]

Kedua hadis tersebut merupakan dalil wacana haramnya berkhalwat dengan perempuan ajnabiyah (aneh/boleh dinikahi) dan boleh berkhalwat dengan mahramnya, yang dimaksud dengan mahram adalah seseorang yang haram dinikahi, sebab ada korelasi nasab atau susuan.[25]

Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh/tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang wanita dilarang keluar rumah, kecuiali bersama dengan mahram/mahramahnya.[26]

Jika ada kebutuhan terhadap perempuan yang bukan muhrini, Al-Qur’an telah mengajarkan, yakni lewat tabir.

واذا سالتموهن متاعا فسئلوهن من وراء حجاب

Terjemahnya:

 jikalau kamu meminta suatu kebutuhan terhadap perempuan yang bukan mahram, maka mintalah dari luar dinding. ” (QS Al-Ahzab/33: 53)[27]

Larangan tersebut, antara lain, dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara musuh jenis demi menyingkir dari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang menganut pergaulan bebas, norma-norma aturan dan kesopanan, yang ialah salah satu pembeda antara insan dengan hewan, seperti hilang.

Oleh alasannya itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk menghalangi pergaulan, tetapi lebih dari itu, yakni untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan musuh jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan tindakan tersebut, bekerjsama sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang sudah disepakati masyarakat.[28]



Download file Doc

[1]Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah (Yogyakarta: Gama Media, 2005) cet ke-I, hlm. 133.

[2]Ibid

[3]Al-Qur’an

[4]Al-Qur’an

[5]Abd. Rachman Assegaf, Op.Cit., hlm. 135.

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet ke-3 hlm. 556.

[7]H. Abdurahman, Op.Cit., hlm. 113.

[8]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 20. Lihat pula Dahlan Idhamy, Asas-asas Fikih Munakahat: Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984), hlm. 15. dan lihat pula Selamet Abidin, Fikih Munakahat (Bandung: Pusaka Setia, 1999), hlm. 41.

[9]H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 24-25.

[10]Al-Qur’an

[11]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2,hlm. .37.

[12]Slamet Abidin dan Aminudin, Op.Cit., hlm. 43-44.

[13]Hadis Riwayat Ahmad dan Muslim; lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 77.

[14]Hadis riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, bagian Al-Nikah, X/198; bandingkan dengan Muhammad Ali As-Shabuni, Al-Zawaj aI-Islami AI-Mubakkir Sa’adah Wa Hasanah, Edisi Indonesia Pernikahan Dini (Solusi Praktis menghadapi Perilaku Seks Bebas), alih bahasa M. Abdul Ghaffar,(Jakarta: Pustaka Al-Naba, 2002), hlm. 62.

[15]H. Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.

[16]H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 24-25.

[17]H. Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.

[18]Ibn Rusyd, Op.Cit., hlm. 2-3.

[19]Al-Qur’an

[20]Sayyid Sabiq, Op.Cit., hlm. 21-22.

[21]Ibid., hlm. 22-23.

[22]Subulus Salam, Jilid III, hlm. 209.

[23]H. Muhammad Syafl’i, Op.Cit., hlm. 54.

[24]Ibid.

[25]Abdul Mudjieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994) hlm. 186.

[26]Ibid

[27]Al-Qur’an

[28]H. Rachmat Syafi’i, Op.Cit., hlm. 219. “Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam ihwal Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 81.