Puisi Lama. Puisi usang berlawanan dengan puisi gres. Perbedaan ini bisa dilihat dari opsi kata, susunan kalimat, irama, fikiran dan perasaan yang terjal mah di dalamnya.
Kita bisa membedakannya ketika membandingkan puisi usang dengan puisi gres. Puisi itu sendiri merupakan hasil jiwa penyair dan mirip sifat jiwa seorang anak sebagian besar diputuskan oleh sifat orang tuanya dan sifat pergaulan di sekelilingnya.
Daftar Isi
Pengertian puisi lama
Puisi usang ialah puisi yang telah ada semenjak zaman dahulu dan biasanya digunakan dalam upacara-upacara akhlak.
Jenis-jenis puisi lama
Berikut ini ialah jenis-jenis atau macam-macam puisi usang, yaitu:
- Pantun
- Syair
- Gurindam
- Mantra
ciri-ciri pantun secara biasa dan terperinci.
Pada intisari pantun ditarik kesimpulan dengan pendek dan indah berupa pikiran, perasaan, anjuran , kebenaran, dan pertanyaan, dan lain-yang lain.
Oleh alasannya final itu pendek, jarang lebih dari 8 perkataan, yang sering menggunakan perumpamaan yang menjadikan asumsi dan perasaan yang dalam, maka sifat kedua garis itu serupa dengan peribahasa, pepatah, ungkapan, hiasan, atau pameo yang bersamaan dengan kedua baris penghabisan pantun.
Sementara itu pasti mungkin juga terjadi seseorang sungguh sempurna dan indah menyimpulkan sesuatu asumsi, anjuran , dan lain-lain dalam kedua baris yang menghabiskan suatu pantun, sehingga oleh ketepatan dan keindahannya dan oleh karena sering diulang-ulang disebabkan ketepatan dan keindahannya itu, 2 baris itu menjadi peribahasa, pepatah, perumpamaan, kiasan atau pameo.
Contoh pantun
Rambung lantai kan lah di bamban
Padi dan bantah punya buah;
Tanggung rasa ikan lah di badan,
Hati dan mata punya ulah.
Air dalam bertambah dalam,
Hujan di hulu belum lagi teduh;
Hati dendam bertambah dendam,
Dendam dulu belum lagi sembuh.
Hijau terlihat bukit barisan,
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang;
Putuslah nyawa hilanglah badan,
Lamun hati terkenal pulang.
Gunung tinggi diliputi awan,
Berteduh langit malam dan siang;
Terdengar kampung mengundang taulan,
Rasakan hancur tulang belulang.
DENGARLAH PANTUN
Buah ara, batang dibantun,
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak menghargai orang.
Mari dibantun dengan bendo,
Berangan besar didalam padi.
Pantun tidak merata orang
janganlah syak di dalam hati.
Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibentuk pagar;
Jangan syak di dalam hati,
Maklum pantun saya gres mencar ilmu.
TEKA-TEKI
Buah akal bedara mengkal,
Masak sebiji di tepi pantai;
Hilang budi bicara akal,
Buah apa tidak bertangkai?
Pak pung pak Mustafa,
Encih Dullah di rumahnya;
Tepung dengan kelapa
Gula jawa di tengahnya?
Kalau puan, puan cerana,
Ambil gelas di dalam peti;
Kalau tuan bijak laksana,
Binatang apa tanduk di kaki?
SYAIR
Ikatan syair terjadi dari 4 baris yang bersajak; adakala terdapat juga syair yang bersajak dua-dua baris.
Tiap-tiap baris panjangnya lazimnya 4 kata mirip pantun.
Perbedaan syair dengan pantun.
Beda aku dengan pantun yaitu 4 baris pantun lazimnya menyimpulkan sesuatu asumsi, perasaan dan lain-lain, yang lengkap. Sedangkan syair hampir senantiasa menggunakan lipatan empat.
Kebanyakan syair yakni lukisan yang panjang-panjang, contohnya lukisan sebuah dongeng, usulan, ilmu, dan lain-lain.
Selain itu dalam syair tidak ada dua baris sampiran yang sering samar artinya mirip yang terdapat dalam pantun.
Contoh syair
BIDASARI LAHIR
Dengarlah dongeng sebuah riwayat,
Raja di desa negeri kembayat,
Dikarang fakir dijadikan hikayat,
Dibuatkan syair serta berniat.
Adalah raja suatu negeri,
Sultan Agus bijak Bestari,
Asalnya Baginda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang biaperi
Kabarnya orang empunya termasa
Baginda itulah raja perkasa,
Tiadalah ia merasa sukar,
Entahlah terhadap esok dan lusa.
Seri paduka Sultan Bestari,
Setelah ia telah beristri,
Beberapa bulan beberapa hari,
Hamil lah Putri permaisuri.
Demi ditentang duli mahkota,
Mangkinlah hati bertambah cinta,
Laksana menerima bukit permata,
Menentang istrinya hamil serta.
Beberapa lamanya di dalam kerajaan,
Senantiasa ia bersuka-sukaan,
Datanglah kala beroleh kedukaan,
Baginda meninggalkan tahta kerajaan.
Datanglah terhadap sebuah kala,
Melayanglah unggas dari angkasa,
Unggas garuda burung perkasa,
Menjadi negeri rusak binasa.
Datang menyambar suaranya bahna,
Gemparlah sekalian mulia dan hina,
Seisi negeri resah-gulana,
Membawa dirinya barang ke mana.
Baginda pun sedang dihadapi orang,
Mendengarkan heboh mirip perang,
Bertitah Baginda raja yang agresif.
Gempar ini apakah kurang.
Demi mendengar titah Baginda,
Berdatang sembah suatu biduanda daulat tuanku dulu seri pada,
Batik sekalian diperhambat Garuda.
Setelah Baginda menyimak sembah,
Durja yang anggun pucat berubah,
Mentari pun bangun dada ditebah,
Bertambahnya Baginda hati gelabah.
Putri pun hamil 7 bulan,
Bertambah Baginda sungguh kasygulan,
Dipimpin Baginda turun berjalan,
Suatu pun tiada ada perbekalan.
Menyerahlah diri semata-mata,
Kepada Allah Tuhan semesta,
Putri tak mampu berkata-kata,
Berjalanlah ia dengan air mata.
Beberapa lewat kampung dan Padang,
Selangkah panas bagai di rendang,
Hitamlah adinda kuning yang ledang,
Bertambah pilu kalbunya sidang.
GURINDAM
Gurindam biasanya terjadi dari sebuah kalimat beragam, yang dibagi jadi dua baris yang bersajak.
Tiap-tiap baris itu suatu kalimat dan perhubungan antara kedua kalimat itu biasanya perhubungan antara anak kalimat dengan induk kalimat.
Jumlah suku tiap-tiap baris tiada diputuskan tanda demikian juga iramanya tidaklah tetap.
Raja Ali haji yang mengarang kan gurindam yang dikutip pertanda tentang gurindam selaku berikut.
Adapun arti gurindam itu, yaitu perkataan yang bersajak pada selesai pasangannya, namun sempurna perkataannya dengan satu pasangannya saja, jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi mirip jawab.
Gurindam sendiri ialah kata-kata pendek yang menyampaikan sesuatu perihal pepatah atau peribahasa.
Contoh gurindam
Ini gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
Maka dia itulah orang yang ma’rifat.
Barang siapa mengenal Allah,
Suruh Dan tegahnya tiada beliau menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
Maka sudah mengenal akan Tuhan yang maritim.
Barang siapa mengenal dunia,
Tahulah dia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
Tahulah dia dunia mudharat.
Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut,
Tahulah beliau makna takut.
Barang siapa meninggalkan sembahyang,
Seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa,
Tidaklah mendapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat,
Tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji,
Tiadalah ia menyempurnakan komitmen.
Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata,
Sedikitlah impian.
Apabila terpelihara telinga ,
Kabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
Niscaya mampu daripadanya faedah.
Apabila perut terlalu penuh,
Keluarlah fi’il yang tiada senonoh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
Di situ banyak orang yang hilang semangat.
Hendaklah peliharakan kaki,
Daripada berlangsung yang membawa rugi.
Selengkapnya di acuan gurindam pendidikan.
Itulah teladan dari beberapa gurindam yang ialah bab dari puisi lama.
MANTRA
Salah satu jenis dari puisi usang ialah mantra.
Berikut ini mantra berjudul mantra menangkap buaya.
Dibaca kan waktu merencanakan umpan untuk memancing buaya adalah seekor ayam yang ditusuk dengan nibung dan diberi tali:
Hai sejambu Rakat, sambut pekiriman,
Putri runduk di gunung ledang,
Ambacang masak sebiji bundar,
Pengikat 7 pengikat, pengarang 7 pengarang,
Diorak dikumbang jangan,
Lulur kemudian ditelan,
Kalau tidak kau sambut,
dua hari, jangan ketiga,
Mati mampek mati mawai
Mati tersadai di pangkalan tambang.
Kalau kau sambut,
Ke darat kau mampu makan,
Ke bahari kamu mampu minum,
Aku tahu asal kau jadi,
Tulang buku tebu asal kau jadi,
Darah gula, dadaku upih
Gigi kau tunjang berembang,
Ridap kamu cucutan atap.
Apabila umpan itu telah dikonsumsi oleh buaya dan rupanya hendak melawan waktu ditarik, maka dibacakan mantra yang berikut:
Pasu jantan pasu planning,
Tutup pasu penolak pasu,
Kau menentang kepada aku,
Terjantang mata kau.
Jantung kau sudah ku gantung,
Hati kau telah ku rantai,
Sipulut namanya usar,
Berderai lah daun selasih.
Aku tutup hati yang besar,
Aku gantung lidah yang fasik
Jantung kamu sudah ku gantung
Hatiku sudah ku rantai
Rantai Allah rantai Muhammad
Rantai Baginda Rasulullah.
KARMINA
Ada kelabang di pohon randu.
Aduh kakak, adik rindu.
Beli kentang beli kedondong.
Kalau datang, cium aku dong.
Ikan betutu pulau penyengat.
Aku butuh pelukan hangat.
Kampung Rokan tarian zapin.
Abang makan, aku yang suapin.
Pohon mangga pohon kemumu.
Aku cinta sama kamu.
Selengkapnya di pantun singkat/karmina
SELOKA
Contoh Seloka
Seloka Pak Kaduk
Aduhai malang Pak Kaduk
Ayamnya menang kampung tergadai
Ada nasi dicurahkan
Awak pulang kebuluran
Mudik menongkah surut
Hilir menongkah pasang
Ada isteri dibunuh
Nyaris mati oleh tak makan
Masa belayar akhir hayat angin
Sauh dilabuh bayu berpuput
Ada rumah bertandang duduk
Seloka 12 Baris
Cendawan berduri robekkan kain
Ambil tambang diikat sebelah
Pikirkan diri yang belum kawin
Adakah kumbang bersedia singgah
Ambil tambang diikat sebelah
Robek menganga si kain perca
Adakah kumbang bersedia singgah
Taman bunga mekar ceria
Robek menganga si kain perca
Buat tambalan kain pengganti
Taman bunga mekar ceria
Sudah pastikan si hari jadi
TALIBUN
Talibun yakni pantun yang mempunyai susunan genap antara enam hingga sepuluh baris.
Contoh talibun
Di era mendung mulai menyapa
Rintik hujan mulai bersiap
Pelangi pun sudah menyemburat
Jika hendak beroleh nirwana
Buat amal soleh padat merayap
Tinggalkan semua hal maksiat
Pasang paras muka memelas
Orang sekitar hingga kesal
Hingga semua berpaling wajah
Tuntutlah ilmu dengan tulus
Agar kelak tak menyesal
Siap menghadapi tantangan dunia
Anak orang di Padag Tarap
pergi berjalan ke kebun bunga
hendak ke pekan hari sudah senja
Di sana sirih kami kerekap
meskipun daunnya serupa
namun rasanya berlain jua
Demikianlah puisi lama dan pola-misalnya.